Biasanya aku hanya sendiri di rumah. Terlunta tak jelas nasibnya. Ada nasi, maka makan. Tidak ada nasi, maka lapar. Heran, entah darimana energi untuk berjalan dan menuntaskan pekerjaan, entahlah. Begitu siklus setiap hariku yang tidak pernah menentu.
Senin, 13 Agustus 2012 semuanya mulai berubah perlahan. Hari itu bukan hari yang biasa. Ada suara tangisan bayi kecil yang lucu, bukan satu, tapi dua, mereka lelaki kembar yang lahir dari rahim seorang kakak di keluargaku yang tercerai berai. Tercerai berai dalam arti fisik, setiap anggota tinggal di lokasi yang berbeda termasuk aku yang selalu mengucapkan selamat pagi pada dinding atau tanaman di rumahku.
Kelahiran Si Kembar bagai magnet bagi seluruh anggota keluarga. Semua tertarik mengumpul di rumah dengan cinta yang tumpul. Perlahan semua menjadi tajam. Ramai, riuh, gaduh. Gaduh yang riang karena semua senang. Sayangnya, Si Kembar yang menjadi magnet bagi kami belum bisa berkumpul di tengah objek yang ditariknya. Mereka harus dirawat beberapa saat di rumah sakit karena lahir lebih awal dari hitungan sembilan bulan. Setidaknya aku berpikir bahwa kami dipersatukan oleh sebuah kelahiran.
Lalu selintas lewat, di hati yang terdalam ada dorongan agar menjaga keduanya. Si Kembar yang menjadi berkah di bulan ramadhan. Aku akan ikut serta mengawal mereka bertumbuh menjadi besar. Lalu, inilah si kembar...
0 Comment:
Post a Comment